Isu mengenai penjualan pulau-pulau Indonesia oleh Presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, kerap mencuat kembali dalam perbincangan publik, terutama saat dinamika politik memanas. Tuduhan ini telah menjadi bagian dari narasi yang berkembang di media sosial, bahkan sejak masa awal reformasi. Namun, benarkah Megawati menjual pulau-pulau Indonesia selama masa pemerintahannya pada tahun 2001–2004?
Untuk memahami isu ini, perlu ditelusuri konteks kebijakan kelautan dan pengelolaan sumber daya alam yang berlaku saat itu. Salah satu dasar hukum yang sering dikaitkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Konsesi dan Izin Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan https://thesilit.com/id/ Sekitarnya. Regulasi ini memungkinkan pihak asing untuk berinvestasi dalam pengelolaan pulau kecil, namun bukan berarti mereka memiliki hak kepemilikan atas wilayah tersebut. Dengan kata lain, yang terjadi adalah pemberian hak pengelolaan atau sewa, bukan penjualan secara mutlak.
Isu penjualan pulau ini menjadi semakin ramai ketika ada laporan tentang investor asing yang mengelola pulau-pulau kecil untuk pariwisata, khususnya di wilayah timur Indonesia. Sayangnya, informasi ini sering disalahartikan seolah-olah pemerintah menjual kedaulatan negara. Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, tidak ada dasar yang memperbolehkan penjualan wilayah kedaulatan kepada entitas asing.
Perlu dicatat bahwa kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil bukan hanya terjadi di era Megawati, tetapi juga berlangsung di pemerintahan-pemerintahan setelahnya. Beberapa pulau memang pernah disewakan kepada investor asing untuk dikelola sebagai destinasi wisata, namun tetap berada di bawah kedaulatan negara. Artinya, tidak ada penyerahan hak milik atau pelepasan wilayah Indonesia kepada negara lain.
Dengan demikian, narasi bahwa Megawati telah “menjual pulau” tidak memiliki bukti hukum maupun fakta administratif yang kuat. Sebagian besar merupakan interpretasi keliru terhadap kebijakan ekonomi dan investasi kelautan pada masa pemerintahannya. Dalam diskursus publik, penting untuk membedakan antara hak pengelolaan dan hak kepemilikan, agar tidak terjebak dalam isu yang menyesatkan dan merugikan pemahaman sejarah bangsa.
Mengkritisi kebijakan pemerintah adalah hal yang sah dalam negara demokrasi, tetapi harus didasarkan pada fakta, bukan asumsi yang dibentuk dari informasi yang tidak lengkap atau bias politik.