RUU Perampasan Aset: Ancaman bagi Koruptor atau Kebebasan Sipil?

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi sorotan utama dalam agenda reformasi hukum di Indonesia. Di tengah semangat pemberantasan korupsi yang terus digaungkan, RUU ini hadir sebagai solusi hukum untuk memudahkan negara dalam mengambil kembali aset hasil tindak kejahatan. Namun, seiring dengan itu, muncul pula kekhawatiran bahwa RUU ini bisa menjadi ancaman serius terhadap kebebasan sipil dan hak asasi warga negara.

Salah satu poin paling kontroversial dari RUU ini adalah diberikannya kewenangan kepada negara untuk melakukan perampasan aset tanpa menunggu adanya vonis pidana. Mekanisme yang dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture ini mengandalkan pembuktian bahwa suatu aset berasal dari kejahatan, tanpa harus menunggu proses pidana terhadap pemiliknya selesai.

Pendukung RUU ini menilai bahwa mekanisme tersebut sangat diperlukan. Mereka berargumen bahwa selama ini, banyak aset hasil korupsi atau tindak kejahatan lainnya yang tidak bisa disita karena proses hukum yang memakan waktu atau pelaku telah meninggal dunia atau melarikan diri. Dengan mekanisme baru ini, negara bisa lebih cepat menyelamatkan kerugian dan mengembalikannya kepada masyarakat.

Namun, kelompok masyarakat sipil dan pakar hukum menyuarakan kekhawatiran yang cukup serius. Mereka mempertanyakan sejauh mana negara bisa menjamin bahwa perampasan aset dilakukan secara adil dan tidak melanggar hak kepemilikan. Tanpa pengawasan dan prosedur hukum yang ketat, ada potensi besar bahwa kewenangan tersebut bisa disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.

RUU ini juga menimbulkan perdebatan filosofis antara upaya penegakan hukum yang tegas dan perlindungan hak sipil yang fundamental. Apakah negara bisa dibenarkan untuk mengambil harta seseorang hanya karena dugaan keterkaitan dengan kejahatan, tanpa melalui proses pidana yang utuh? Di sinilah pentingnya kejelasan dalam prosedur dan sistem pengawasan yang terintegrasi.

Pemerintah menegaskan bahwa pengaturan dalam RUU akan memastikan proses perampasan aset dilakukan melalui pengadilan, bukan keputusan sepihak. Artinya, setiap aset yang hendak disita harus disertai bukti yang kuat dan diputuskan melalui proses hukum terbuka yang memungkinkan pembelaan dari pemilik aset.

Dalam kerangka hukum yang sehat, RUU ini sebenarnya dapat menjadi alat yang efektif dalam memerangi kejahatan ekonomi, asal tidak menabrak prinsip-prinsip keadilan. Keberhasilan implementasi RUU ini sangat bergantung pada integritas lembaga peradilan dan sistem pengawasan internal.

Perdebatan antara pemberantasan korupsi dan perlindungan kebebasan sipil memang bukan hal baru, namun harus terus menjadi perhatian agar hukum tidak menjadi alat penindasan. Sebaliknya, hukum harus menjadi pelindung bagi yang benar dan pengadil bagi yang bersalah.

Ikuti perkembangan terbaru, analisis tajam, serta opini publik seputar RUU Perampasan Aset hanya di https://lensaterkini.id/ — portal berita yang mengupas tuntas isu-isu hukum dan kebijakan nasional dengan perspektif berimbang.


Быстрая навигация
×
×

Корзина